https://depok.times.co.id/
Wisata

Tengger Istimewa: Gegeni Anteng, Jiwa pun Menghangat

Sabtu, 17 Mei 2025 - 07:35
Tengger Istimewa: Gegeni Anteng, Jiwa pun Menghangat Mbah Sis, sesepuh Tengger, tak pernah lelah memberi pencerahan pada tamu di rumahnya sambil Gegeni. (Foto: Anwar/TIMES Indonesia)

TIMES DEPOK, MALANG – Malam di Tengger, puncak Bromo, adalah doa yang pelan. Anginnya membelai lembut seperti nasihat para leluhur. Tengger istimewa

Tidak tergesa. Tidak menggurui.  Hanya mengajak kita diam dan menyimak. Di tengah pekat yang merangkul, kami duduk di hadapan  Mbah Sis, sesepuh Tengger, suku asli di Puncak Bromo. Tepatnya di Desa Jetak, Kecamatan Sukapura, Probolinggo.

Kami duduk berhadapan. Di depan kami ada setungku arang menyala. Di Tengger ini biasa dinamakan Gegeni. 

Bara arang menyala pelan, seperti jiwanya yang selalu tenang. Tak pernah terbakar, tapi tak pernah padam. 

Begitu pula hidup. Harus hangat, bukan panas. Boleh cuaca dingin, namun jiwa harus tetap hangat. 

Kami bicara banyak hal, tapi sebenarnya tidak banyak kata. Justru dari jeda, dari diam, dari tatapan dan senyum simpul, lahir makna yang melampaui bunyi. 

Seperti Minggu malam itu. Tak ramai, tapi mengisi. Tak bising, tapi mengajarkan banyak hal.

Mbah Sis duduk tenang dengan kopi di sampingnya. Baju hitam, kopyah khas Tengger, dan selempang kain sarung, menambah kebijaksanaan kakek 86 tahun ini.

“Hidup itu kayak rumah. Ada ruang tamu, ada dapur. Tamunya kamu jamu, tapi kamu hidupnya di dapur.” 

Ucapannya sederhana, tapi menusuk dalam. Kami tahu, ia sedang bicara tentang ruang depan dan ruang belakang dalam kehidupan kita.

Ruang di mana suku Tengger ini menjadikan sarana kontemplasi dan pencerahan diri. 

Ruang depan, tempat kita tampil. Berdandan, bersikap sopan dan ramah, menyambut tamu dengan senyum terbaik. 

Ruang ini harus bersih. Harus tertata. Karena di sinilah dunia menilai, menyorot, dan berkomentar. Ini panggung.

Tapi ada ruang belakang. Tempat cucian kotor. Tempat letih kita rebah. Tempat luka-luka kita sembunyikan. Di sinilah sesungguhnya hidup bergulat.

Tidak semua orang boleh masuk ke sana. Tidak semua akan paham baunya, panasnya, dan repotnya. Tapi justru di sanalah kita bertumbuh. Di sanalah kejujuran hidup diuji.

Jangan iri sama ruang depan orang lain. Kita nggak tahu dapurnya kayak apa.

Kalimat itu terasa seperti petir sunyi di kepala. Menggelegar tanpa bisa berhenti.

Terlalu sering kita mengukur hidup dari yang tampak. Dari senyum-senyum yang mungkin palsu. Atau, dari foto-foto yang dibingkai rapi di media sosial. Padahal ada tangis panjang di baliknya.

Sawang sinawang, begitu kata orang Jawa. Hidup adalah saling melihat. Kita melihat mereka bahagia, mereka melihat kita tampak sukses. Padahal kita semua sedang menahan luka di ruang belakang masing-masing. 

Maka, hidup bukan untuk dibandingkan. Tapi untuk dipahami. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk dijalani dengan rendah hati.

"Kalau pengin sumeleh, pengin ayem, kudu ngerti dapurmu dewe. Tapi kalau lihat orang, ojo delok dapurnya. Uripmu bakal ruwet nek seneng ngintip mbotekane wong liya."

Itu kalimat sangat bijak malam itu. Artinya, kita hanya bisa damai kalau memahami pergulatan batin kita sendiri. Bukan sibuk mencari tahu aib orang lain.

Kami terdiam cukup lama. Memandang ke bara gegeni yang mulai mengecil. Dingin mulai menyusup ke kaki, tapi justru kepala kami terasa hangat. 

Seperti disadarkan bahwa hidup ini bukan soal seberapa indah kita tampak. Tapi seberapa jujur kita mengelola isi dapur kita sendiri. Mengelola dalam sunyi, dalam diam, dan dalam sabar yang panjang.

Hidup ini, kata Mbah Sis, tak akan selalu bahagia. Tapi juga tidak selalu sedih. Semua bergantian. Seperti pagi yang datang setelah malam. Seperti panas yang datang setelah hujan. 

“Ora usah kuatir,” katanya, “sing penting atimu tetep anget.”

Dan kami percaya itu. Malam itu, di kaki Bromo yang membisu, kami menemukan pelajaran penting: tidak semua yang hangat itu dari api besar. Kadang justru dari bara kecil yang terjaga pelan, hidup bisa terus menyala.

Jadi, mari jaga ruang belakang kita. Tak perlu selalu bersih. Cukup jujur. Cukup dirawat dengan sabar. 

Jangan sibuk mendandani ruang depan sambil membiarkan dapur terbakar. Karena sesungguhnya yang membuat kita tetap hidup, adalah ruang belakang. Tempat kita menangis, bertanya, jatuh, dan bangkit lagi.

Dan jika suatu hari kau datang ke Tengger, carilah gegeni itu. Duduklah sejenak bersama angin dan sunyi. Siapa tahu, jiwamu yang beku akan hangat kembali. Sebab di tempat tinggi seperti ini, kadang kita tidak menemukan jawaban, tapi justru menemukan diri sendiri dengan Gegeni. Dan memang, Tengger istimewa. (*)

Pewarta : Khoirul Anwar
Editor : Khoirul Anwar
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Depok just now

Welcome to TIMES Depok

TIMES Depok is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.